Saya mendapat info tentang kota kelahiranku dari WA keluarga tentang daerah Pecinan Semarang. Artikel berharga ini sayang bila terbuang nantinya.
Kotaku menyimpan banyak sejarah tentang Kelenteng dan Vihara. Sebagian Kelenteng yang merupakan tempat ibadah pengikut Tri-Dharma atau 3 agama yang terdiri dari agama Budha, KhongHuCu dan Tao pada jaman Orde Baru diubah menjadi Vihara. Contohnya adalah kelenteng yang terletak di dekat jalan gang Besen tepatnya Gang Pinggir yang dekat juga dengan wilayah Gang Gambiran dan CapKauKing/ Sebandaran. Mengingat dan coba mengingat lagi, menggali memori tentng kampung halamanku.
Kotaku kampung halamanku takkan pernah terhapus dari ingatanku, ada kerinduan tersendiri pada kampung halamanku. Pada kelenteng Tay Kak Sie dimana sewaktu kecil merupakan tempat saya main ayunan, main seluncur di dalam Kelenteng. Masih kuingat pada sisi sebelah kiri arah ke pondokan bagi yang menginap juga bagi yang ingin main YangKiem atau Ohut sejenis gitar atau kecapi khas China, di bagian bawahnya ada toilet, ada halaman belakang dengan tanaman bunga, pada bagian dasar saat akan naik ke lantai 2 arah kanan terdapat deretan toilet-toilet juga.
Di kelenteng Tay Kak Sie terdapat rupang/ patung Budha, Khong Hu Cu, Lao Cu/ DaiSangLoCin, bahkan terdapat patung SamPho TayJien atau Laksamana ChengHo yang beragama Islam. Betapa indahnya bersamaan bila kita bisa menghargai aneka perbedaan.
Dahulu waktu kecilku sering menonton wayang Potehi yang dibawakan dalang Potehi terkenal yaitu almarhum encek Tio Tiong Gie. Entah anaknya ada yang meneruskan jadi dalang Potehi atau tidak.
Disanalah awal kehidupanku. Daerah Pecinan dan pernak pernik kehidupannya. Kota Semarang tak terpisahkan dari nama konglomerat Oei Tiong Ham, saking terkenalnya senior Oei Tong Ham sampai generasi sekarangpun masih terpesona dengan sosok senior Oei. Saya sebut senior atau sesepuh meminjam istilah dunia persilatan Kangouw untuk menggantikan kata sebutan LoCianPwe.
Teman anakku yang umurnya baru 21 tahun tanya ke anakku ” mamamu she/marga Oei ya, kata anakku iya. ” Apakah mamamu keturunan Oei Tiong Ham? Hahaha anakku sampai memerlukan tanya ke saya. Baca aja dibawah ini.
Kebetulan saya marga Oei lengkapnya Oei Gin Djing tapi keluarga besar kami tak ada hubungannya dengan Raja Gula Oei Tiong Ham yang terkenal.
Kembali ke topik semula, baiklah saya copy dan paste artikel dari WA yang baru saya terima, tanpa edit dan komentar apapun demi menghormati penulis aslinya. Terbagi dalam 3 bagian.
TAY KAK SIE & KONG TIK SOE
Kelenteng kuno di Semarang yang memuja Dewi Welas Asih yaitu Kwan Im Ting di Gg Belakang, dirasa kurang kondusif lagi. Karena seringnya terjadi perkelahian antar penjudi diantaranya di tahun 1753 yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.
Juragan KHUW PING dengan dukungan kapiten Tan Kie mencari tanah di pinggir kali Kang Kie yang dianggap hongshuinya paling bagus di Pechinan. Tanah itu ketemu, namun Tan Kie meninggal. Penggantinya, yakni adiknya yg bernama Tan Lik Sing (digelari Boen Wie) meneruskan usaha membangun kelenteng di ujung Tang Kie (Pechinan Timur atau Gg Pinggir) itu. Pembangunan kelenteng dilakukan setelah ada upacara permohonan ampun dulu. Dikerjakan oleh tukang2 (dan bahan2 bangunan) yang didatangkan dari Tiongkok , kelenteng besar itu selesai tahun 1772 dan dinamakan Tay Kak Sie atau Kuil Kesadaran Agung.
Setelah kelenteng selesai, hartawan dermawan Khuw Ping mengadakan perjamuan sang sun hong (selamat berlayar pulang) di rumah dan tempat usahanya yang luas di pinggir kali , sebagai tanda perpisahan dan bersembahyang di kelenteng baru itu. Separo lebih penduduk ikut merayakan perpisahan dengan memberi banyak kado perpisahan. Khuw Ping meninggal tidak lama kemudian di Tiongkok. Sebuah papan pian terpahat namanya di ruangan depan kelenteng.
Di kemudian hari, area sekitar rumah Khuw Ping di Semarang dinamakan KALI KUPING dan daerah itu dianggap terbaik hongshuinya di Semarang. Tay Kak Sie sendiri, oleh para pengamat arsitektur kelenteng, dianggap kelenteng yang terindah di Jawa dengan ornamen2 pada wuwungan atap, pilar2 dalam yang detail dan cantik. Patung yang dipuja tidak cuma Kwan Im, tapi juga Sam Po ThayJin, Sam Koan Tay Te, Sam Po Hud, Po Sing Thay Te (dewa obat), Thian Siang Seng Bo dan masih banyak lagi. Hingga menjadikan Tay Kak Sie salah satu kelenteng yang memiliki dewa terbanyak.
Tahun 1845, Kapiten Tan Hong Yan merasa, Gedong Gulo yang ia jadikan kantor untuk pusat informasi Tionghoa atau Tjie Lam Tjay dirasa kurang sesuai lagi. Ia bersama Mayoor Be Ing Tjoe- sohibnya dan luitenant Khouw Giok Soen berencana membeli lahan cabai seluas hampir 2200 m2 di samping Tay Kak Sie. Disinilah awal nama jalan Gg Lombok di depan kelenteng itu. Kapiten Tan bermaksud mendirikan Kong Koan atau gedung ‘kongsi’ /perdagangan dan pusat informasi untuk para pendatang baru di Semarang. Hal ini banyak terjadi setelah terjadinya Pembantaian di Batavia tahun 1740. Bangunan baru itu disebut KONG TIK SOE. Bangunan itu juga berfungsi sebagai tempat bantuan sosial, untuk para jompo/yatim piatu terlantar, balai pengobatan, bahkan pendidikan gratis untuk para anak yang tidak mampu.
Bagian Barat bangunan digunakan untuk fungsi2 kong koan tersebut, bagian tengah dijadikan kelenteng untuk menghormati & bersyukur kepada arwah leluhur yang diwakili papan2 nama yang disebut ‘Sin Cie’ berikut abu mereka. Bagian Timur dipakai untuk kantor yayasan. Di dalam gedung kadang juga dipakai tahanan untuk para imigran yang melanggar hukum.
Setelah lebih dari 1,5 abad berkarya, gedung bersejarah yang masuk cagar budaya ini, pada tanggal 21 Maret 2019 lalu telah terbakar. Terutama bagian tengah gedung telah musnah. Pechinan telah kehilangan satu miliknya yang berharga.
SIAN CAI
J A G A L A N
Daerah ini di Semarang abad ke 19 di bangun sebuah istana megah oleh juragan Tionghoa bandar gula bernama Tan Tiang Tjhing. Gedung megah itu disebut Gedong Gulo. Bangunan itu memiliki dermaga di belakangnya menghadap Kali Semarang . Area itu suka di pakai pagelaran kesenian tradisional Jawa. Gedong Gulo disebut juga See Wan atau Istana Barat. Anak Tan, bernama Tan Hong Yan bahkan berbesanan dengan Be Ing Tjoe yang mendirikan Istana Timur atau Tong Wan, tempatnya di Kebon Dalem. Dari Gedong Gulo, keluarga Tan selalu naik perahu mengunjungi besannya itu menyusuri Kali Semarang yang waktu itu masih asri. Di waktu Imlek, mereka membawa ber-peti2 arak utk dibuat pesta di Kebon Dalem.
Dengan mulai hidupnya kawasan Gedong Gulo, pendatang2 dari luar daerah mulai tinggal dan berprofesi sebagai penjagal hewan di area sekitar gedung itu. Makanya area itu disebut juga sbg Jagalan. Kulit hewan setelah dijagal dibawa ke daerah Kulitan utk disamak.
Thn 1900 an, gementee (pemkot Belanda) mulai merasa, daerah itu perlu ditertibkan. Maka rumah penjagalan baru (thn 1923) dibangun dengan biaya yg sangat besar di Kabluk. Area Jagalan itu makin lama makin padat dngn pemukiman penduduk.
Tahun 1863. Area diujung Jagalan (sekitar jl Mataram sekarang) yg disebut Ambengan terjadi kebakaran yang terbesar dalam sejarah Semarang. Disitu ada pasar yang dibangun oleh Tan Tiang Tjing untuk orang2 Tionghoa (di Bon Chino). Kebakaran yang begitu besar sampai hampir merembet ke Gedong Gulo.
Waktu itu, ada kyai sakti yang menginap di rumah Tan Tjong Hoay (cucu Tan Tiang Tjing & anak Tan Hong Yan). Kyai itu mandi membersihkan diri, membuka gelungan rambutnya (waktu itu sedang ‘musim’ para tokoh muslim memiliki rambut panjang), membuka seluruh pakaian-hingga tinggal cawat di tubuh. Ia naik ke wuwungan genteng sambil mengacungkan kerisnya ke arah kobaran api.
Ajaib….api yang sempat menjilat dinding gedung, berbalik arah dan gagal membakar gedung Tan. Tak berapa lama kebakaran mereda. Api menghabiskan kawasan Jagalan, Ambengan hingga Kapuran, karena alat pemadam masih minim waktu itu, hanya mengandalkan air2 sumur…..
Jagalan di masa berikutnya memiliki salah satu dari 2 bioskop yang memutar film2 mandarin, selain Roxy (belakangan disebut Ria) di ujung Gg Besen. Gedong Gulo sendiri kini tinggal puing2, diawali dari bisnis Tan Tjong Hoay yang bangkrut karena salah dalam tender pacht madat….
SIAN CAI.
AREA PEKOJAN SEMARANG
Kawasan Pekojan (pe-koja-an) atau kampungnya orang Koja, Moorche Kampong alias kampung orang2 Moor (kata Belanda) adalah pemukiman orang2 yg berasal dari Gujarat- India Barat. Moor sebenarnya adalah berarti orang Afrika Utara, namun kemudian digunakan sebagai sinonim untuk orang muslim pada umumnya. Area ini awalnya adalah perbatasan Pechinan dengan Kota Lama orang Belanda di utara.
Akhir abad ke 18 areanya merupakan kuburan dengan banyak tegalan dan hutan yang rawan dengan pembegalan.
Karena Pechinan mulai berkembang, diantaranya di Pechinan Lor banyak orang berjualan caping yg menjadi simbol status orang Tionghoa (dikemudian hari jalan itu disebut PETUDUNGAN), dan banyak orang menuju Loji2 orang Belanda ke Heerenstraat, Kerkstraat (jl Gereja), maka Kompeni minta kepada Kapiten Tan Jok Sing untuk memindah kuburan Tionghoa kuno yang berada di Pekojan.
Setelah melalui penghitungan hongshui yang rumit, tempat penggantinya ditetapkan di Gergajen lor dan jl Sriwijaya. Pemindahan itu dilakukan pada tahun 1797. Sebelumnya dilakukan upacara besar2an untuk menolak bala. Di ujung utara jl Petolongan ditegakkan sebuah tanda kias (cisoak) di atas batu dngn tulisan ‘ Lam Boe O Mie To Hoet Kian An’. Hingga kini tulisan itu masih ada.
Dahulunya, jl Petolongan itu banyak tukang patri (solder) yang menerima pekerjaan pembuatan talang saluran air rumah. Maka kampung disitu dinamakan Kampung Talangan. Lambat laun jadi Tolongan dan Petolongan sampai sekarang.
Tahun 1825, sewaktu Perang Diponegoro meletus, keadaan tidak aman, banyak preman. Maka Tionghoa2 bekerjasama dengan orang2 Koja menjaga keamanan bersama sama. Bahkan mereka mengejar para penyamun hingga memasuki area kebon pisang yang kini disebut Gedangan. Ada sekitar 100 orang Koja mengejar hingga Kaligawe dan Demak.
Di utara Petolongan, seberang batu cisoak, berdiri sebuah mesjid orang Koja yang indah. Mesjid itu dinamakan Mesjid Jami Pekojan. Mesjid dibangun di awal awal kedatangan orang2 Koja. Terdapat sebuah makam Syarifah Fatimah yang wafat tahun 1290. Konon wanita asal Gujarat itu punya kemampuan khusus menyembuhkan aneka penyakit. Mesjid Pekojan terkenal dengan bubur India yang menjadi menu rutin takjil berbuka puasa di setiap bulan Ramadhan. Pedangdut A Rafiq sering menyempatkan diri bersembahyang di mesjid itu setiap berada di Semarang. Mesjid dengan pintu bergaya Renaissance, memiliki 4 kolom di tengah bangunan utama-mengadopsi arsitektur Joglo. Mihrab (tempat imam) berbentuk kubah melengkung bagian atas mengadopsi gaya Romawi. Kondisi kayu2nya masih terawat dengan detail yang menawan.
Jalan Petudungan sendiri, para warga Tionghoa bergaul baik dengan penduduk bumi putera dan suku Koja. Disitu pernah terdapat pesantren. Hubungan harmonis 3 suku berjalan harmonis hingga sekarang. Namun seiring dngn kemajuan perdagangan, orang2 Koja terdesak hingga tinggal 2-3 keluarga saja di jalan utama Pekojan. Mereka bertahan di Petolongan, Pekojan Tengah, Gg Begog hingga Bustaman. Berjalan kaki dari Petolongan menyusuri Gg Begog hingga Bustaman dan Petudungan, bisa dijumpai beberapa kandang kambing milik orang2 Koja dengan aroma bau yang khas. Sate kambing ala Bustaman ini banyak dijumpai di kota Semarang.
Gg Begog sendiri, di area yang melulu orang Koja itu, ada seorang shinshe dari Shanghai -Chan Mun Wien (kini sudah meninggal) yang buka praktek dan membantu warga disana.
Setiap lebaran, warga Tionghoa bersilaturahmi ke orang2 Koja tersebut. Suguhan cemilan mereka rata2 manis.
Kini jl Pekojan dan Petolongan sudah banyak dirtinggalkan penghuninya. Jl Pekojan banyak diisi pedagang alat2 rumah tangga, toko bahan bangunan dan toko obat. Jalan itu semakin ruwet dan semrawut.
Begitu juga jl Petolongan. Lahan rumah2 kecil disitu sepertiga di beli orang Koja pemilik toko mesin jahit. Lainnya dimiliki pengusaha plastik /imitasi. Namun hubungan harmonis antar pemilik disana masih tetap terjaga hingga sekarang.
SEKIAN.
Tambahan Pecinan Semarang yang kudapat dari saudara dan teman.
Pada bagian depan terdapat patung Laksamana Cheng Ho atau The Ho dalam dialek Hokkian